Sabtu, 03 November 2012

Koleksi Cerpen Terbaikku : Sang Domba dan Pak Tua




Karya : Hengki Kumayandi

Tengah terik ini, angin tak mampu menggoyahkan bulu-buluku yang hampir gundul. Lalat-lalat menyerbu bagian tubuhku yang dipenuhi koreng-koreng bernanah. Aku berdiri di tengah rerumputan yang menghijau, menegakkan ke empat kakiku yang kian memerih, memandangi sebangsaku, domba-domba yang digiring si Tua pengembalaku menuju Masjid.

"Kau beruntung wahai si Gundul, coba kalau engkau tidak diserang penyakit yang entah namanya itu, mungkin esok kau akan mati, seperti saudara-saudaramu yang siap di sembelih untuk Qurban Tahun ini ..." Aku terkejut, saat Merpati tiba-tiba hinggap pada dahan pohon yang mengikatku.

Aku hanya diam, tak menghiraukan kicauannya, sungguh jika boleh jujur sebenarnya bukan seperti ini yang aku inginkan, aku ingin seperti sebangsaku yang sehat-sehat dan gemuk-gemuk itu, dibeli Manusia untuk Qurbannya.

"Apa yang engkau pikirkan wahai Gundul?" Merpati putih itu sedikit menggerakkan sayapnya, matanya menatap wajahku tajam.

"Tinggalkan aku wahai Merpati, terbanglah bersama sekawananmu, carilah rizky Tuhan hari ini... Rumput-rumput di sekitarku ini cukuplah untukku hari ini ..." Ucapku melemah.

"Ayolah ... Cerialah sedikit, jangan murung seperti itu, berbahagialah ... Engkau selamat." Ucap Merpati sedikit terbang kearahku, kali ini ia sangat dekat denganku.

"Kau tahu, disembelih dengan nama Tuhan adalah mulia ... Meski darah mengucur, sakit tak tertahan, tapi itulah wujud pengorbanan, aku sedih karena penyakitku ini, aku tak berharga di mata Manusia, bahkan ku dengar obrolan si Tua pengembalaku pada dokter yang memeriksaku, bahwa penyakitku ini berbahaya bagi Manusia ... Aku ingin menjadi Domba yang di Qurbankan wahai Merpati ..." Ucapku sambil menggerak-gerakkan tubuhku agar lalat-lalat pergi menjauh.

Merpati menatapku, seperti berpikir, ia mengepakkan sayap, meninggi setinggi kepalaku yang tegak di atas kempat kakiku, matanya tak lepas menyoroti wajahku.

"Kau berbeda dari mereka, kudengar mereka ingin bebas, tak mau dijadikan Domba Qurban, tapi malah engkau berkeinginan, aneh ..." Wajah Merpati mengkerut.

"Kau tak mengerti, dan aku malas untuk melakukan sesuatu agar kau memahami ... Pergilah, tinggalkan aku, aku ingin sendiri." Ucapku sambil menatap wajah mungilnya.

"Baiklah ... Selamat menyendiri kawan, aku kira engkau yang tak mengerti, bukan aku ..." Merpati lalu meninggi melajukan sayap-sayapnya tinggi ke atas sana, sampai menghilang sekejap entah akan terbang kemana.

Sementara aku mematung terikat kuat di sebuah pohon di tengah padang rerumputan yang tanahnya mulai gersang.

"Gunduuuul ...! Gunduuuul ...!" Aku terkejut saat melihat Domba Hitam Jantan itu berlari kearahku, umurnya sama denganku, dia Domba yang cerewet, dialah biang kerok yang mengajari sebangsaku untuk memanggilku Si jantan yang Gundul. Tapi aku tak pernah peduli ejekannya, toh aku menganggapnya hanya candaan semata.

"Hitam, kenapa kau ke sini, bukankah kau sudah di serahkan ke Masjid?" Tanyaku Heran.

"Aku kabur, aku tak mau disembelih ... Aku tak mau di Qurbankan, ku pikir kenapa pula Tuhan menggantikan kita dari anak Nabi Ibrahim itu, sekarang kita yang malah di korbankan. Seandainya aku bukan Binatang yang di halalkan ..." Si Hitam terengah-engah menahan nafas " Ayolah ... Kita lari dari sini ... Aku ingin menyelamatkanmu dari ikatanmu ini ..."

Aku menarik nafasku." Domba Hitam, dengarkan aku, jangan lari dari Takdir Tuhan, ini takdir kita ... Seharusnya kau bangga bisa sehat dan bugar, dan bangga bisa menuruti Titah Tuhan untuk bangsa kita ..." Ucapku.

" Kau ini bodoh ... Siapa yang mau mati, semua Domba aku yakin mereka ingin mati bukan dengan disembelih ... Seperti Manusia, mati ya memang waktunya mati ..." Domba Hitam terdiam lalu dia berbalik dan berjalan menunjukkan ekor buntungnya padaku, ia menoleh sesaat kemudian." Selamat tinggal Gundul ... Kalau memang kau ingin tetap di sini, ya sudah. Toh mereka juga tak akan menyembelihmu. Huh ... Tahu begini nasib para Domba, aku malah ingin sepertimu yang diderita penyakit, Bisa bebas ..." Ucapnya lalu mulai berlari meninggalkanku.

****

Senja mulai mengguratkan pesona warnanya di langit, dari kejauhan ku lihat si Tua Pengembala berjalan ke arahku, ketika ia sampai di tempat aku terikat, ia melepas ikatan di dahan pohon lalu menarikku, aku di bawanya ke kandang, ku lihat keringat si Tua mengucur di dahinya, ini hari lelahnya, menggiring saudara-saudaraku ke Masjid yang katanya sangat jauh dari tempatku ini.

"Pak ... Yang ini tidak di jual juga untuk Qur'ban?" Tanya si petani pada pengembalaku yang tak sengaja berjalan berlawanan arah dengan kami.

"Tidak ..." Ucap pengembalaku dengan senyum tak bersemangat lalu menarikku dengan cepat, sepertinya ia sengaja untuk tidak banyak bicara pada petani itu.

Aku sudah tiba di kandangku yang bau, pak Tua terus memandanku sedikit iba, lama ... Kemudian ia mengelus kepalaku. Entah apa yang ada dipikirannya aku tak tahu.

Tengah malam ini, aku masih murung, berharap Tuhan dapat menyembuhkan penyakitku, ku pandangi rembulan yang bersinar terang, tiba-tiba aku memikirkan si Hitam, kemana perginya ia? Ah ... Entahlah.

Tiba-tiba riuh terdengar dari depan rumah si Tua, entah siapa yang datang? Tapi sepertinya ada banyak orang menyumpah serapahi si Tua, tiba-tiba suara kaki menghentak bumi kian mendekat kearahku.

"Bunuh Domba ini ... Kalau tidak penyakitnya akan menular pada hewan peliharaan kami ..." Teriak Lelaki yang berumur kurang lebih empat puluh tahun itu pada pengembalaku.

"Sabar Pak ... Selama Binatang ini tidak terlalu dekat dengan Binatang lain, penyakitnya tak akan menular ... Dia saja kandangnya aku pisahkan dari Domba yang lain, jaraknya tak jauh, tapi kata dokter hewan yang memeriksa kemarin tak ada masalah dengan Domba yang dipisahkan itu, mereka tetap sehat." Pengembalaku membelaku, aku gemetar dilanda takut, aku tak mau mati sia-sia.

"Terserah ... Pokoknya jika esok ia masih ada disini, kami yang akan membunuh Domba ini ..." Ucap Lelaki itu, kelimat lelaki didekatnya terdiam memandang wajah pengembalaku penuh dengan kebencian, mereka lalu pergi. Kulihat pengembalaku menatapku bingung, aku takut kalau-kalau dia membunuhku, tapi sesaat kemudian kulihat wajahnya seperti iba menatapku.

Dulu, akulah Domba kecil yang paling ia sayangi, karena buluku paling cantik diantara bulu-bulu Domba yang lain, Domba kecil yang sering di bawanya pergi kepadang rumput yang segar, hanya aku sendiri, ia duduk berjam-jam menungguku makan sampai kenyang, setiap tengah hari sampai senja tiba. Aku ingat, pernah aku diminta oleh anak laki-laki tertuanya yang sudah menikah untuk dibawanya, tapi si Tua ini tak mengizinkan, malah ia menyuruh untuk mengambil Domba yang lain, ah ... Begitu spesialnya aku di matanya, tapi semenjak aku ditimpa penyakit yang menyerang kulitku ini, si Tua agak berubah, walau ia tetap memperhatikanku.

Aku gemetar, saat ia membuka kandangku lalu memasangkan tali di leherku, ia menarikku keluar, ah ... Mau di bawa kemana aku malam-malam begini, mau ia bunuhkah? Atau ia buang? Entahlah ... Sungguh, aku tak mau mati sia-sia atau di buang tanpa tuan. Tuhan yang Maha Mendengar bantu aku ... Setidaknya walau tidak dapat menjadi amanahmu untuk di Jadikan hewan Qurban, biarkan saja aku tetap hidup, menemani si Merpati di ladang rumput, mendengarkan kisanya tentang langit, atau tentang moyangnya sipengantar surat.

Si Tua ini menarikku menembus malam menjauhi rumahku, ku lihat ia bingung, sementara aku cemas, air mataku tak bisa aku tahan, sesuatu yang buruk sepertinya akan aku alami malam ini. Andai aku bisa bicara dengannya sungguh aku ingin bertanya, mau di apakan aku ini?

Jauh ... Perjalanan semakin jauh, menembus kebun demi kebun, menembus padang rumput tempat biasa aku digembalakannya, menyeberangi sungai, persawahan di atas rembulan yang bersinar terang. Jika memang harus di bunuh, kenapa tidak sekarang, perjalanan malam ini sudah sangat jauh, jika harus di buang, di buang kemana?

Mendekati subuh, Si Tua terduduk lelah, keringatnya Mengucur ditengah dinginnya kelam, aku memandangi wajahnya kasian, kulihat wajah tua itu mengarah pada rumah kecil di ujung sana, yang samar ku lihat, si Tua ini berdiri, menarikku lagi, tibalah kami di depan rumah kecil itu, ia mengetuk pintu. Lama, akhirnya seseorang membukanya, ia aku kenal siapa orang ini, anak tertua yang dulu sangat menginginkanku.

"Ayah ..." Ucapnya terkejut lalu matanya menatapku. " Ayah berjalan?"

"Ayah titip Domba ini nak, kalau tidak ayah bawa ke sini, warga akan membunuhnya karena penyakitnya ..."

"Masuklah dulu, kita bicara di dalam ..."

"Tidak nak, ayah harus pulang pagi ini juga, di sana sudah ada angkutan umum untuk membawa ayah kerumah, Domba-Domba ayah hari ini di Qurbankan. Peliharalah sejenak Domba malang ini, ajak istri dan anakmu ke rumah nanti, inikan lebaran Haji ... Sekalian ayah mau kasih uang, agar kamu bisa memanggil dokter hewan yang handal untuk kesembuhan Domba ini ..."

Air mataku tumpah ... Betapa si Tua ini masih menyayangiku, bahkan ia peduli pada penyakitku. Tak lama ia pergi meninggalkanku, ku pandangi punggungnya yang kian meninggalkanku, andai aku bisa berlari dan berbicara padanya, ingin aku mengejarnya dan berterima kasih padanya. Ah ... Si Tua, aku hanyalah domba yang hanya bisa berharap bisa sembuh dari penyakitku ini hingga menjadi hewan Qurbanmu nanti.
Hidup Ini Indah Kesehatan Komunitas Penulis Indonesia Grup Mesra Pustaka Online

0 komentar: