Cerpen ini dimuat di Koran Malang Post. 30 September 2012.
'' Berisaplah wahai Bangsa Polietilena, sebentar lagi satu persatu dari kita akan pergi, kita ditakdirkan untuk mengangkut barang bawaan manusia, setelah itu takdir yang akan menentukan hidup kita,dibuang untuk menjadi sampah yang akan mengotori bumi, atau kita akan diolah kembali untuk menjadi plastik yang baru? Entahlah .... ''
Aku mendengar suara kantong plastik yang tertindih di bawahku saat kami semua diletakkan disamping seorang pedangang sayuran yang siap mengeluarkan kami satu-persatu dari tempat kami ini, suaranya terdengar begitu pelan, seakan pita suaranya sudah tidak berfungsi lagi. Dia sangat senang dipanggil dengan nama Kakek Selulosa. Mungkin aku bisa mengatakan, dialah sesepuh Plastik dari sebanyak benda-benda yang terbuat dari plastik di dunia ini. Semenjak aku menyadari aku ada, dan aku baru menyadari bahwa aku hanya sebuah kantong plastik, Kakek Selulosa lah yang paling banyak bicara diantara kami. Dia bilang, dia sudah tidak dapat lagi menghitung sudah berapa kalinya dia didaur ulang,ya ... semenjak Alexander Parkes menemukan Organik Selulosa pada tahun 1862, di Inggris. Lalu Wallace Hume Carothers kembali meneliti dan merisetnya di sebuah Laboratorium hingga menemukan Nylon, Acrylik lalu Polimer, maka jadilah Kakek Selulosa. Dia senang di panggil Selulosa karena asal penemuan itu, ini informasi yang kutangkap dari ceramah-ceramahnya pada kami tempo lalu.
"Ada pembeli ...! sebentar lagi aku keluar dari sini ... Horee ...!'' Teriak kantong plastik yang menindihku membuyarkan lamunanku. Ia berada paling atas diantara kami, tiba-tiba dadaku berdegup kencang, sungguh aku tak ingin keluar dari sini, aku ingin di sini, aku masih ingin mendengar petuah-petuah dari Kakek Selulosa.
''Teman-teman ... aku duluan, selamat jalan ...'' Teriaknya, kulihat ia ditarik keluar lalu tubuhnya di isi dengan sayur sayuran yang dibeli oleh seorang remaja perempuan. Ia menghilang di jinjing oleh remaja perempuan itu pergi beberapa saat, aku melihat sekitar, pengap dan ramai, aku sedikit lega akhirnya aku bisa bernafas setelah tertindih sekian lama dalam tumpukan plastik bening yang membungkus kami di sini,walau bau pasar ini kian menyengat ke hidungku, kini mataku dapat melihat segala sesuatu di sekitarku, akupun tahu betapa nenek tua pemilik kami itu sangat berharap agar beberapa pembeli segera menghabisi dagangan sayur mayurnya, tetapi aku malah berdoa semoga tak ada pembeli yang datang lagi, sungguh aku tak mau keluar, aku takut hanya akan dijadikan sampah yang tak berguna, seperti cerita-cerita Kakek Selulosa, banyak dari teman-temannya dulu tidak sampai didaur ulang, ada yang terkubur didalam tanah, ada yang terbakar, ada yang berserakan di jalanan tak pernah dipedulikan, dan ada yang tergenang di sungai-sungai hingga terombang ambing di lautan yang luas.
''Sayur Kangkung tiga ikat, Timun setengah kilo ...'' Suara Ibu-ibu membunuh kantukku, aku terperangah tak berdaya, pasrah sepasrah para narapidana yang ditembak mati oleh tentara-tentara di zaman perang dunia dua yang disaksikan oleh Kakek Selulosa.
"Kakek Selulosa ... sebentar lagi mungkin aku yang akan meninggalkan kalian ... doakan aku Kek, agar aku bisa sepertimu, hidup lama dan selalu didaur ulang untuk keselamatan Bumi ... " Ucapku pasrah sambil memejamkan mata.
''Doa kita ada di tangan manusia cucuku, apapun yang akan kamu hadapi kedepan, tangan Manusialah penentunya ... '' Hanya ini yang Kakek ucapkan padaku, ia kembali terdiam.
Mataku terbelalak saat kulihat tangan penjual sayur itu mengarah padaku, seketika aku memejamkan mata. lama ...
''Aaaaaaa ...!" Suara teriakan itu memaksaku untuk membuka mata, ternyata bukan aku yang diraih oleh tangan penjula sayur itu, melainkan kantong plastik di bawahku.
"Aku tidak mau ... Tolong aku ... gantikan aku ...!" Teriaknya, aku tak bisa berbuat apa-apa padanya, dan Kakek Selulosa serta yang lainpun terdiam tak menghiraukannya,
Kulihat tiga ikat Sayur Kangkung yang gemuk-gemuk itu dimasukkan ke tubuhnya, juga Timun setengah kilogram dipaksa masuk ketubuhnya, air matanya menetes saat kulitnya harus robek kena gesekan timun-timun yang besar itu. Akhirnya Ia pasrah ... sepasrah kami, perlahan ia seakan terbang dijinjing tangan pembeli yang kasar itu, semakin jauh, kulihat matanya tertuju pada kami, masih berair.
''Nek ... minta kantong plastiknya satu ?"
Deg, seorang anak kecil laki-laki memelas pada penjual sayur itu.
"Buat apa? nggak lihat dagangan nenek masih banyak? nanti kalo plastiknya kurang gimana?" Teriak Penjual Sayur pada anak kecil itu.
"Satu saja ... " Anak kecil itu merengek.
"Kau ini tidak pernah mengerti, kalo minta maunya selalu di beri ..." Teriak nenek.
"satu saja nek ... ayolah ..."
"Ya sudah ..."
Mataku terbelalak saat tangan tua itu mengarah padaku, aku ditariknya meninggi keudara, sekejap aku diberikan pada anak kecil itu, kulihat anak kecil itu tersenyum lalu membawaku berlari, tak sempat ku ucap kata perpisahan pada Kakek Selulosa dan yang lain, ah ... ini sudah nasibku.
Aku seakan terbang tanpa isi, udara memenuhi perutku hingga aku terlihat kembung, entah kemana anak kecil ini akan membawaku? yang kulihat hanya bangunan-bangunan tinggi, lalu lalang kendaraan-kendaran yang mengeluarkan asap hitam yang bau.
"Ini Kak, Plastiknya ..." Aku diserahkan pada lelaki remaja yang sangar dan hitam.
"Kamu gimana sih dik? kan tadi kakak suruh kamu minta plastik Pink sama nenek? ini hitam, nggak nyambung sama warna layang-layang ini ..." Ucap si Kakak sambil memperlihatkan layang-layangnya, kulihat tubuh Plastik Pink menempel di sana, ia merintih melihatku. sejenak kuajak bicara dia disela-sela omelan si kakak terhadap adiknya yang tak mau kudengar lagi.
"Kau akan terbang ... Siapa namamu?" Tanyaku. Plastik Pink itu melihat kearahku."Danguang ... namaku Danguang, katanya aku akan di berikan pada anak gadis yang disukai oleh pembuatku ini ... tapi aku kekurangan bahan ... sayang ya, kamu tidak bisa bersamaku di sini?" Ucapnya.
Belum sempat aku menjawab pembicaraanku pada Danguang, tiba-tiba tangan kasar si Kakak menarikku lalu meremasku hingga membentuk bulatan, seketika aku di lempar ke tengah jalanan.
"Aaaaaaaa ...!" Teriakku yang terhentak didasar aspal yang panas. Air mataku tumpah, inikah nasibku? terbuang begitu saja menjadi sampah yang tidak diperdulikan?
Sebuah Truk melaju kencang ke arahku, aku memejamkan mata, tiba-tiba aku meninggi dan melebar, angin telah menerbangkanku tinggi keudara, kulihat Truk itu kian menghilang, namun aku masih melayang-layang tinggi dan semakin tinggi, aku bisa melihat panorama kota, entah apa namanya ini, angin semakin menggerakkanku ke arah utara, tiba-tiba aku tersangkut di tiang listrik, melihat burung-burung bermesraan di atas kabel listrik, sesaat kemudian aku diterpa angin lagi, hingga kembali melayang, di atas sana awan semakin menghitam, tiba-tiba petir kian menggelegar, aku terhempas ketanah, di dekat sungai yang pekat dan bau. Hujan lalu turun, genangan air membawaku kedasar sungai yang bau, aku ... menjadi sampah yang tak berguna, yang akan menyumbat lajunya air di sungai ini. Hal yang tak pernah aku inginkan selama ini.
Tiba-tiba genangan air semakin meninggi, kudengar teriakan-teriakan sebangsaku membahana, bukan hanya kami yang berteriak, bahkan kendaraan-kendaraan yang melaju di sisi sungai pun tak henti membunyikan klakson, karena jalanan terlihat macet, karena genangan air yang kian meninggi. Hey, kota ini menjadi setengah danau sekarang, entah kemana larinya manusia-manusia itu, yang kulihat hanya aku dan sampah-sampah lain yang tergenang dipermukaan air yang hampir menyentuh atap-atap rumah, sementara aku tersangkut di sebuah dahan pohon, menyaksikan fenomena Banjir yang kata Kakek Selulosa hampir di setiap musim hujan menghantui kota ini, entah karena apa, aku tak tahu. Yang Jelas, saat ini aku hanya berpasrah pada tangan Manusia, berpasrah moga suatu saat ada tangan yang mengambilku, didaur ulang kembali sampai nanti, seperti kakek.
* Terinspirasi ketika melihat kantong plastik yang melayang di udara ketika berada dalam bus siang tadi.
Sarawak Malaysia, 23 September 2012
Hidup Ini Indah Kesehatan Komunitas Penulis Indonesia Grup Mesra Pustaka Online
0 komentar:
Posting Komentar