Rabu, 07 November 2012
[a novel] Surat-Surat Untuk Anakku - Chapter 1
Oleh : Hengki Kumayandi
Cikarang, 15 Oktober 2002
Untuk engkau anakku
Terminal Cikarang begitu terik siang ini nak, ayah baru saja selesai makan, yang ayah beli dari warung nasi di samping warung telpon tempat ayah mengais rizki untuk melanjutkan hidup. Ditemani lagu Sheila On 7 yang menggema dari radio butut pemberian Pak Subandono, pemilik wartel ini, sambil menunggu orang-orang untuk datang menelpon, ayah sengaja menulis surat untukmu.
Pada saat ayah menulis ini, engkau belum ada nak, karena ayah belum menikah. Biarlah ayah menuliskannya, agar suatu ketika jika engkau ada, engkau akan tahu tentang carut marut hidup ayah.
Sebenarnya, niat untuk membuat surat ini karena kemarin malam setelah wartel tutup, ayah bercerita ini itu dengan sahabat ayah, yang bekerja di warung sembako tak jauh dari wartel ayah ini, masih di kawasan terminal Cikarang yang bau dan pengap ini.
Namanya Zami, dia pemuda Tasik, bertubuh tinggi, berambut cepak, bermata jernih dan sepertinya banyak gadis yang mengaguminya. Tidak seperti ayah, pendek, kurus dan berkulit sawo matang mendekati hitam. Katanya dia sedih nak, semenjak ia dilahirkan sampai sekarang ini, dia belum pernah melihat ayahnya, ibunya tak pernah mau bercerita padanya, bahkan orang-orang di kampungnya mengatainya anak haram. Jelas sekali ayah melihat air matanya mengalir kemarin malam, di depan terminal ini, duduk di sisi jalan raya sambil memandang lampu-lampu kota, dia bilang dia rindu akan ayahnya, wajahnya, suaranya dan kisah hidupnya.
Ketika kami mengakhiri pembicaraan pada malam kemarin, ayah berjanji, jika engkau ada, ayah tak akan menyia-nyiakanmu. Ayah akan merawatmu dengan baik, membebaskan cita-citamu terbang tinggi setinggi langit ketujuh.
Bagaimanapun kesedihan Zami, itu lebih berat dari kesedihan ayah nak, kakek dan nenekmu telah lama meninggalkan ayah, ayah diurus oleh pamanmu hingga lulus SMA, bedanya kerinduan ayah pada mereka telah sirna, tidak seperti Zami. Dan hari ini entah kenapa ayah mulai merindui mereka, ingin tahu kisah mereka, seperti Zami yang ingin tahu segalanya tentang ayahnya.
Untuk itu, ayah tak ingin engkau seperti Zami dan ayah, seandainya takdir menghendaki yang sama terhadapmu, ayah akan siapkan semua kisah untukmu. Semua perjalanan ayah yang mungkin mampu memberi pelajaran untukmu, jika tidak, biarlah ini menjadi hanya sebuah kisah tentang ayah.
Anakku, semenjak mendengar kerinduan Zami akan ayahnya, ayah memiliki satu kesimpulan tentang hidup. Apapun itu hidup, bagaimanapun cobaan, halangan dan rintangannya, hidup akan terus berlanjut. Ya, hidup akan terus berlanjut.
Ayahmu,
Hasan Maulana.
NB : Tunggu surat-surat ayah berikutnya.
Hidup Ini Indah Kesehatan Komunitas Penulis Indonesia Grup Mesra Pustaka Online
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar