Banyak teman di sekitarku yang sangat ingin menulis novel. Berangkat dari kebiasaan menulis cerita pendek dan flash fiction, banyak yang akhirnya coba-coba untuk menulis novel. Apa sih definisi novel? Novel adalah tulisan narasi yang panjang yang memilik alur, plot, konflik, penokohan dan bla bla bla. Sebagai gambaran kecil, novel-novel loal yang banyak beredar sekarang rata-rata mengandung 30.000-80.000 kata. Kata sebanyak itu kalau dipindahkan ke kertas A4 dengan margin default berfont TNR dan spasi 1 adalah sekitar 70-250 halaman A4. Tapi, ya itu tergantung format dari novel yang mau kamu tulis: pemisahan bab, kandungan dialog dan deskripsi sangat menentukan tebal novel nantinya.
Tapi sebelum menulis dan mendapat berlembar-lembar halaman novel, apa sih yang harus disiapkan terlebih dahulu?
Persiapan menulis novel jelas berbeda dengan menulis cerpen atau flash fiction. Aku pribadi untuk menulis cerpen atau FF, cuma butuh satu kalimat pemancing, laptop menyala, dan lagu pengiring yang pas. 30 menit – 3 jam, jadilah satu tulisan berupa cerpen atau flashfiction. Nggak perlu aku lama-lama memikirkan tokoh (kadang nama tokoh pun asal comot) atau repot-repot riset latar atau profesi.
Sangat berbeda jika menyiapkan untuk menulis novel. Memulai menulis novel dari udara atau tanpa persiapan apapun, itu nyaris tidak masuk akal—kecuali, kamu sudah sangat jagoan menulis novel, seperti ada seorang penulis yang bisa menyelesaikan novel satu malam saja (aku lupa siapa namanya). Persiapan di sini bukanlah outline seperti yang banyak diberikan tips menulis dalam memulai menulis novel. Justru yang ingin aku ceritakan adalah persiapan membuat outline atau sekedar garis besar untuk calon novelmu.
Sebuah cerita selalu berawal dari sebuah ide sederhana. Sebuah novel yang rumit pun berasal dari sebuah ide sederhana, yang mungkin itu ditemukan ketika nongkrong di toilet atau berdesak-desakan di TransJakarta. Ide muncul sesederhana itu saja. Bagaimana kamu menangkan dan mengembangkannya, itu yang perlu diasah keahliannya.
Aku nggak menyebut diriku ahli. Aku cuma punya beberapa pengalaman yang bisa dibagi. Memilih ide memang gampang-gampang susah. Namun pegang satu prinsip mendasar ketika menulis: tulis apa yang kamu suka dan membuatmu tertarik. Itu juga yang menjadi dasar dalam memilih ide. Belajarlah untuk berpikir ke depan, bertanya kepada diri sendiri, sejauh mana ide itu akan menarik kamu masuk ke dalamnya, bagaimana kamu bisa berdamai dengan ide itu selama kamu menulis, dan mungkin, apa motivasi paling dasar kamu harus beberapa bulan ke depan bergelut dengan ide itu—padahal kamu punya banyak sekali hal yang harus dilakukan. Kamu harus tahu itu.
Jika kamu suka idemu. Gunakan rasa ingin tahumu. Manusia diberkahi rasa ingin tahu yang luar biasa. Itu adalah salah satu modal terkuat itu berdamai dengan idemu. Anggaplah ide tersebut merupakan sebuah pelajaran baru yang harus kamu kuasai. Seperti Michael Scott, penulis seri The Secret of The Immortal Nicolas Flamel, yang harus mengembangkan dan melengkapi ide ceritanya hingga kurang lebih 10 tahun sampai akhirnya bisa ditulis menjadi enam buku. Atau JK Rowling, yang cerita perjuangan menulis Harry Potter-nya sudah banyak kita tahu.
Meskipun mencari dan mendapatkan ide itu sederhana. Cara mengembangkan idemu, itulah yang membuatnya menjadi sangat berharga.
Sebagai cara belajar untuk mengasah mengembangkan ide adalah dengan mencoba melihat sebuah peristiwa yang terjadi dari berbagai sudut pandang yang mungkin. Semisalnya, penyerbuan salah satu instansi pemerintah semalam. Ketika membaca berita tersebut, di dalam kepalaku sudah terbayang adegan thriller politik yang sangat seru. Bagaimana ketegangan staf instasi tersebut, bagaimana nurani para penyerbu yang juga penegak hukum, bagaimana perasaan para benteng manusia yang membela instansi tersebut? Melihat dari sudut pandang berbeda akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan.
Dari sini kamu harus mulai mencatat. Mencatat apa yang terlintas di kepalamu. Mencatat pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Sebanyak mungkin. Dari sudut pandang-sudut pandang tersebut, kamu bisa memilih akan menempatkan diri sebagai siapa? Siapa posisi yang menurutmu paling berkonflik? Sebab konflik adalah nyawa sebuah novel. Akan tetapi, jelasnya ketika memilih sudut pandang, pilihlah yang paling mudah kamu hayati, paling dekat denganmu, yang paling bisa kamu mengerti.
Bukan berarti memilih karakter yang sulit adalah larangan. Memilih karakter yang jauh dari yang kamu tahu dan mengerti adalah tantangan besar setiap penulis. Namun konsekuensinya adalah kamu harus mau lebih banyak menghabiskan waktu untuk riset karakter tersebut sebelum mulai benar-benar menulis.
Hal tersebut juga berlaku ketika menulis novel roman. Sebab semua kisah cinta itu begitu-begitu saja, maka cara mengembangkan konflik percintaannya itu menjadi poin penting. Meski setiap kisah cinta itu istimewa, namun bisakah kamu menonjolkan keistimewaannya? Itu tantanganmu.
Sebuah kisah menjadi istimewa bisa jadi karena terjadi pada tokoh tertentu, pada masa tertentu, atau di tempat/lokasi tertentu. Nah inilah yang harus dipikirkan juga, selain konflik. Bagaimana karakter yang pantas untuk konflik/ide ceritamu? Karakter ini akan berkaitan erat dengan waktu dan tempat terjadinya ceritamu. Kalau kamu pilih karakter eksekutif muda berkendaraan Ferrari 458. Kamu nggak bisa menempatkan dia di enam puluh tahun lalu. Ferrari 458 eksis pada masa sekarang. Ferarri 458 nggak mungkin karaktermu pakai di jalan-jalan desa di Indonesia, yang artinya latar kota besar menjadi pilihan untuk menjadi latar ceritamu.
Kalau sudah memikirkan sampai di sini, jangan lupa dicatat! Bawa buku catatan ke mana-mana.
Berilah detail-detail kecil pada karaktermu. Misalnya seperti yang kusebutkan di atas, Ferrari 458. Nah itu sudah cukup menggambarkan bahwa tokohmu termasuk kalangan menengah ke atas dan elite. Maka tentu saja dia mungkin bekerja sebagai petinggi perusahaan tertentu atau sesuatu jabatan yang tinggi, yang memperbolehkan mengendarai Ferrari sampai depan lobi kantornya. Dari situ kamu bisa mengembangkan banyak hal. Detail-detail pada tokoh merupakan salah satu poin penting dalam membuat tokoh/karaktermu terasa hidup. Apakah meskipun dia kaya ternyata dia suka makan di pinggir jalan? Ah, mengapa dia suka makan di pinggir jalan? Apakah ada seseorang di masa lalu yang sering mengajaknya makan di pinggir jalan?
Mengetahui masa lalu, masa depan, dan detail-detail tokohmu akan membuatmu lebih mudah mengenal tokohmu. Mengenal tokoh berarti akan mudah membayangkan tokohmu berinteraksi dengan tokoh lain dan memikirkan reaksinya jika konflik/idemu tadi kamu timpakan kepadanya? Apakah dia akan marah? Frustasi? Bahagia?
Menentukan latar dan waktu, bisa ditarik dari idemu, atau karaktermu tadi. Jika misalnya, karakter yang dipakai adalah si eksmud tampan dan kaya tadi. Itu artinya adalah kamu akan menggunakan latar kota besar, misalkan Jakarta. Menjadikan Jakarta sebagai latar cerita di masa sekarang, maka ceritamu tak akan lepas dari macetnya Jakarta. Karena si eksmud memiliki latar belakang keluarga elite, kamu harus tahu tempat-tempat di Jakarta yang menjadi pusat pergaulan para eksmud dan elite. Nah itulah gunanya riset (kalau kamu bukan orang Jakarta).
Konflik, karakter, dan latar adalah hal yang pertama disiapkan untuk menulis novel. Setelah semua catatan kamu kumpulkan, mulailah untuk merangkai plot dan alurnya. Kejadian apa saja yang membawa si tokoh sampai di puncak konflik dan akhirnya menutup konflik tersebut. Di mana saja dan kapan kejadian itu terjadi (ini bisa jadi patokan riset latarmu)?
Memilih bagaimana kisah itu diceritakan adalah tugasmu. Apakah cerita ini dikisahkan mundur atau maju? Dengan ketiga unsur tadi dan semua hal yang sudah kamu catat serta kamu tahu tentang unsur-unsur tadi akan membantumu memilih. Selain itu, memilih alur cerita adalah bumbu istimewa setiap penulis. Untuk tahu alur bercerita yang kamu sukai, kamu harus banyak membaca dan menonton film—jadi, kamu akan mengerti alur apa yang paling cocok untuk idemu. Sudut pandang seperti apa yang membuat kisahmu istimewa dibanding kisah lain yang memiliki ide serupa. Karakter dan latar seperti apa yang bisa membuat kisahmu makin hidup.
Mempersiapkan menulis novel tidak akan singkat. Seminggu mungkin tidak akan cukup mengenal semua tokohmu. Seperti kita berteman, butuh waktu untuk mengenal temanmu, untuk membuatnya percaya padamu, untuk akhirnya dia bisa menceritakan kisah-kisah hidupnya kepadamu. Menulis adalah serangkaian proses mengembangkan ide yang tadinya sederhana. Setelah melewati proses tersebut, niscaya jika kamu benar-benar bisa menghidupkan idemu, maka ide itu akan tertanam dalam hidupmu juga pembaca-pembacamu. Banyak pelajaran dan pengetahuan baru yang bisa kamu dapatkan dari menulis ide tersebut.
Menulis adalah perjalanan memperkaya diri. Maka teguhlah dengan ide untuk novelmu.
Hidup Ini Indah Kesehatan Komunitas Penulis Indonesia Grup Mesra Pustaka Online
0 komentar:
Posting Komentar