Sabtu, 08 November 2014

Tamu dari Langit


Cerpen Hengki Kumayandi




PEGUNUNGAN Alpen mengabur di mataku. Panoramanya tertelan malam semenjak lima jam yang lalu. Hanya lampu-lampu rumah yang menyala samar yang nampak kupandangi dari jendela kamarku yang masih terbuka. Biar saja. Aku memang sengaja membiarkannya terbuka sampai semalam ini. Aku ingin dia datang. Datang dari pintu ini. Menemani sepiku.
          Benar saja. Dia datang lagi. Iya dia. Katanya dia berasal dari negeri yang tinggi. Setinggi awan di atas kota kecil Garmisch-Partenkirchen ini. Seperti dongeng-dongeng yang dulu kerap Ayah ceritakan. Negeri itu tak akan pernah terlihat oleh siapa pun. Dan tak akan pernah ada manusia di bumi yang bisa ke sana. Hanya aku yang bisa ke sana dan mampu melihatnya. Iya hanya aku, katanya. Dia tidak pernah mau menyebut nama negeri itu padaku. Katanya negeri itu ada. Dia tidak bohong. Tapi aku tak pernah tergiur akan ajakannya untuk ke sana. Bukan aku tak percaya. Tapi karena aku tak mau. Tak akan mau. Sekali lagi aku tak akan mau. Aku hanya ingin dia selalu menemaniku di sini. 
          "Kau akan melihat perempuan berambut api di sana," katanya,"yang akan membagikan boneka pada siapa pun yang mendatanginya. Api di rambutnya terkadang memercikkan kembangnya, membentuk huruf, hingga kau benar-benar akan membaca sebuah tulisan yang mengambang di atas kepalanya. Tulisan tentang jawaban dari pertanyaanmu tentang hidup."
          "Oh ya," jawabku sembari duduk di atas kasurku yang empuk,"aku tidak tertarik lagi dengan boneka, bonekaku terlalu banyak untuk menenami kesepianku. Dan aku tidak tertarik dengan percikan api itu. Cukuplah diary yang mengukir segala hal tentangku dan kehadiranmu di sini,"
          "Kau mau menunggangi kuda bercula satu dan bersayap kecapung?" ucapnya sambil membenahi mahkota cokelatnya. Mahkotanya itu, katanya terbuat dari seng. Seng sangat mahal di sana. Emas dan perak sudah tak ada harganya lagi. Aneh. Negeri apa itu? Wajahnya yang segitiga itu ia buang sesaat ke tabir putih yang menutupi jendela kamarku. Tak berapa lama kemudian, matanya yang segi empat itu menatapku penuh harap. Ia ingin sekali aku ke sana.
          "Ayahku punya pesawat pribadi, aku bisa terbang ke negeri mana yang aku mau, walau hanya setahun sekali Ayah bisa mengajakku, itu sudah cukup bagiku."
          "Bukankah Ayahmu telah pergi dan tak akan kembali lagi? Itu katamu, kan?"
          Kali ini aku merebahkan diri di atas kasur. Mendiamkan tanyanya. Aku berbaring dan memandangi langit-langit kamar. Sekejap langit-langit itu berubah menjadi layar yang menyajikan adegan film tersedih sepanjang masa. Tak kutemukan adegan film sesedih ini di Festival Film Cannes pada Mei beberapa tahun yang lalu, bersama Ayah. Iya, aku melihat diriku tengah menangis di dekat tiang gantungan. Memeluk kaki seorang pria yang menjuntai kaku. Pria yang menggantung dirinya sendiri di sana. Tanpa kutahu apa sebabnya.  Ah! Aku tak mau melihat adegan itu. Tak mau. Aku memejamkan mata. Setelah membuka mataku kembali. Adegan di langit-langit yang kusaksikan tadi menghilang. Tanpa kusadari dia duduk di tepi kasurku. Menguraikan rambut ularnya yang jinak. Tangannya yang dipenuhi ulat itu mengusap rambut panjangku dengan pelan.
          "Kuda itu bisa membawamu pergi kapanpun kau mau, " katanya, "kau akan dibawanya untuk melihat pertunjukan kala jengking yang menari balet, melihat jentik-jentik menggelitiki perut cacing-cacing, dan ...,"
          "Aku tidak mau!" Ucapku tegas, "sekali pun ada pertunjukan-pertunjukan aneh yang kerap kau ceritakan di hari-hari lalu itu, aku tetap tidak akan mau."
          Ya, aku tidak pernah ingat lagi kapan untuk pertama kalinya dia datang. Waktu pertama kali ia menampakkan wujudnya yang aneh itu - lebih aneh dari hidupku - aku sama sekali tidak terkejut dan takut akan wujudnya.
          Awalnya aku mendengar nyayian yang tak pernah aku dengar sebelumnya. Merdu sekali nyayian itu di telingaku. Tiba-tiba saja ia muncul sambil memegang sebuah mahkota indah. Katanya mahkota itu untukku. Aku akan diangkat menjadi Tuan Puteri di negerinya. Tuan Puteri dari rakyat yang berwujud aneh-aneh. Seperti yang dikisahkannya.
          Aku menolak. Bagaimana mungkin aku mau meninggalkan rumahku ini? Walau setiap hari sepi dan sepi. Inilah tempatku. Di sini aku dapat duduk diam melihat orang-orang bermain ski di lereng gunung. Atau menikmati panorama danau Alpin di atas perahu. Itu sudah cukup untukku melupakan beban dipikiranku. Aku tak akan pergi ke sana dan tak akan mau menjadi Tuan Puteri dari makhluk aneh sepertinya.
          "Hanya kau yang akan mampu menguasai negeri kami. Di tanganmu kami tak akan menjadi makhluk aneh lagi. Kami akan menjadi cantik-cantik dan tampan-tampan. Secantik kau." Katanya dulu.
          "Katamu di sana tidak ada hujan, sementara aku menyukainya." Ucapku kala itu.
          "Ada, bukan kah tadi sudah kukatakan bahwa setahun sekali di sana ada hujan paku, pakunya runcing sekali, tajam, mengkilap."
          "Apa istimewanya hujan paku? Kau suka hujan paku itu?" Tanyaku.
          "Suka, sangat suka, aku suka bila paku-pakunya mengenai kami. Darah akan mengucur, lalu membajiri tempat pijak kami, katanya jika darah itu menggenang setinggi tubuh-tubuh kami, kami akan kembali menjadi makhluk yang indah."
          "Kata siapa?"
          "Kata Raja kami yang telah mati bunuh diri."
          "Lalu ...?"
          "Tapi ... Hujan paku selalu berhenti di saat darah menggenang sampai ke mata kaki, dari tahun demi tahun, selalu begitu, entahlah," dia terdiam, sepertinya masih ada yang ingin dia katakan. Kala itu aku menunggu saja kalimat selanjutnya dari dia, sambil menjuntaikan kakiku yang tengah duduk di atas meja, mejaku yang di penuhi tahi-tahi tikus.
          "Sampai tiba aku bermimpi, melihat wajahmu bersedih, di atas bunga teratai, lalu matamu yang indah itu mengeluarkan darah! Aku melihat makhluk-makhluk negeri kami berlari-lari mendekatimu, mereka tunduk, beberapa dari mereka berseru ; Tuan Putri telah datang! Tuan Puteri telah datang! Itulah aku ke sini, mencarimu melalui cermin ajaib, cermin yang dikusami debu-debu, muncul dirimu di sana, aku melihatmu menangis di kamar ini. Iya, wajah cantikmu lah yang aku lihat"
          Entah mengapa air mataku tiba-tiba menggenang. Semakin lama aku semakin sesenggukan.
          "Jika kau ikut aku ke sana. Kesedihan yang selama ini kau simpan akan hilang. Kau akan bahagia di sana, sementara kami akan menjadi makhluk-makhluk indah,"
          "Cukup! Aku tak ingin mendengarmu lagi, pulanglah, jangan ke sini lagi. Aku tak ingin kemana-mana, biarpun sedalam lautan kesedihanku. Aku akan tetap di sini."
          "Kau benci tangisan itu bukan? Kau benci segalanya di sini. Kesepian itu. Kemurungan itu. Dan ...,"
          "Cukup! Hentikan! Jangan bicara lagi,"
          Aku memekik sekuatnya. Setelah itu dia menghilang, dan ruang tamu rumahku tiba-tiba terbakar, dilalap api. Entah dari mana datangnya api itu. Tapi anehnya, kobaran api itu membuatku tenang, tenang sekali. Beban yang kupikul begitu berat terasa ringan. Ringan. Lalu aku tersenyum, kemudian tertawa, lalu terbahak-bahak aku melihat kobarannya yang begitu besar, perlahan menghabisi rumahku, gelap.
          Itulah kisah pertemuan pertamaku dengannya. Hari ini, seperti kataku tadi, dia datang lagi.
          Dia diam.  Tak berdaya lagi untuk mengiming-imingiku tentang apa yang ada di negerinya itu. Jika sudah begitu, ia pasti akan menghentikan belaiannya di rambutku. Lantas beranjak, dan tubuhnya yang bulat itu akan mengembang, lalu mengobarkan api di kakinya, kemudian melesat secepatnya melalui jendela, meninggalkan kamarku, menyisakan hawa panas dan sisa-sisa percikan api yang selalu akan membakar apa pun di kamarku. Tanpa dia sadar, inilah yang paling aku suka dari segalanya. Dari rumah mewah yang sepi ini dan dari negeri yang diajaknya untuk didatangi. Ya, aku suka kobaran api ini, aku suka api menghabisi isi kamarku. Aku akan tertawa puas melihatnya. Ya, dia tak pernah tahu, ketidakinginanku untuk ikut kenegerinya karena aku telah menemukan apa yang paling aku ingini. Api menghabisi isi kamarku.
          Kalau api sudah memenuhi kamarku, aku tak akan peduli. Tak akan pernah peduli. Yang penting aku bisa tertawa sepuasnya menikmati api yang berkobar. Walau pun tubuhku akan dilahapnya juga. Tak apa. Aku suka jika aku terbakar, mati dan mulapakan Ayah.
***
          "Ada apa lagi di sana?"
          "Banyak,"
          "Adakah kereta yang melaju delapan jam lamanya?"
          "Tak ada, yang ada hanya ular berkaki seribu. Ular yang sangat besar, kau bisa menungganginya, berjalannya begitu cepat, secepat kereta yang melaju dari Frankfur menuju kota-kota lain di negara Jerman-mu ini."
          "Bisakah ular berkaki seribu itu menghantarkanku pada Ayah? Aku merindukannya."
          "Tidak,"
          "Kenapa?"
          "Dia tak ada di sana,"
          "Adakah hidangan Bratwurst [1] dengan sauerkraut [2] dan kentang untukku setiap harinya di sana? Aku menyukainya dan Ayahku juga."
          "Tak ada, kau akan menikmati hidangan bulu-bulu domba yang berkhasiat untuk memperhalus kulitmu,"
           "Ceritakan sekali lagi, seperti apa negerimu itu, suasana kotanya. Bisakah aku melupakan Ayah di sana."
           "Kau tak akan pernah melihat negeri ini sebelumnya, dan aku tak bisa menggambarkannya untukmu. untuk itu kau harus ke sana, segera."
          "Aku lebih menyukai rumahku, sampai di sini saja pertemuan kita. Jangan datang lagi. Ya, jangan datang lagi dalam pikiranku. Aku mohon. Kepalaku tak sanggup lagi menampung keberadaanmu. Berat. Mungkin sebentar lagi aku akan terbangun. Dan ketika aku benar-benar sadar, aku berharap kau tak akan terlintas dalam pikiranku lagi. Demi Tuhan tak akan. Dan tak akan datang dalam mimpi-mimpiku lagi. Aku akan menikmati hidupku. Menikmatinya walau sendiri, di rumah besar ini. Walau Ayah tak akan pernah pulang lagi ke sini. Aku harus menikmati sepi. Harus. Aku tak perlu kamu datang lagi ke sini untuk menemani dan mengajak aku ke negerimu. Karena hidup harus kujalani. Aku tak mau mencoba membakar diri lagi. Sakit. Lebih sakit dari kesedihanku."
          Dia menghilang, tak ada kobaran api itu lagi, yang kulihat hanya layar besar di langit-langit ruang rawat inapku ini, layar yang memunculkan sebuah adegan film, iya, aku melihat diriku sewaktu berumur tujuh tahun di sana, bersama Ayah di atas perahu. Di danau Alpen. Aku masih ingat, kejadian itu terjadi pada bulan oktober.
          "Ayah! Mengapa Ayah suka menulis dongeng?"
          "Karena anak-anak lebih suka berada di dunia imajinasi dibanding dunia nyata, maka untuk itulah ayah menulis dongeng,"
          "Apakah yang Ayah tulis itu bisa menjadi kenyataan? Maksudku dongeng-dongeng itu akan menjadi nyata?"
          "Selagi kau bisa menaruhnya di dalam kepalamu, kau akan berada di dunia dongeng-dongeng itu,"
          "Kalau begitu, aku ingin pergi ke langit, menemui negeri yang Ayah tulis. Aku ingin bertemu dengan tokoh-tokoh aneh yang Ayah buat,"
          "Nanti malam Ayah akan membacakan dongengnya sampai habis,"
          Layar yang memunculkan adegan itu tiba-tiba menghilang. Hanya langit-langit saja yang kini nampak di mataku. Air mataku menetes.
          "Ayah, bacakan sekali lagi dongengmu untukku. Aku ingin ke negeri dongengmu. Tak mau sendiri ke sana, mauku bersama Ayah, sekali lagi saja." [] 

[1] Sosis rebus
[2] Kol asam

Hidup Ini Indah Kesehatan Komunitas Penulis Indonesia Grup Mesra Pustaka Online

0 komentar: