Cerpen Hengki Kumayandi
KITA pernah berbagi cerita tentang penat dan
sebak di dada. Lalu melangitkan obrolan duka tanpa ujung. Sesekali dengan
gurau. Kucerna kalimat-kalimat gundahmu satu persatu. Menyimpannya lamat-lamat
dalam memoriku. Di atas dataran tinggi itu. Di atas batu. Di tengah kebun kopi
yang di payungi pohon-pohon lamtoro itu. Di perbatasan antara kebunmu dan
kebunku. Ya, hampir dua bulan itu terjadi. Selalu di tengah hari. Bahkan kita
tak peduli lagi untuk memampas rumput-rumput yang merajai kebun. Kita tahu,
musim kopi masih lama. Di sana kita hanya berlari dari keriuhan kampung yang
menelan kita untuk menghidari menjadi bujang tak berguna. Kita menginap di
Talang Bukit itu untuk mencari ketenangan. Walau sejatinya kita tak pernah
merasa tenang. Yang penting, kita bukan
salah satu dari mereka yang kerap menghabisi nyawa para penunggang motor di jalanan kampung demi merampas motornya untuk penghidupan. Aku tak habis pikir, kemana naluri kemanusiaan mereka yang tega menebas leher manusia demi untuk merampas motor mereka. Padahal - yang aku tahu - motor itu hanya dijual murah saja - hanya untuk membeli ganja dan minuman keras. Kau pun hanya diam ketika aku menanyakan ini. Tersenyum getir sambil mengasah pisau belati yang selalu kau bawa itu.
salah satu dari mereka yang kerap menghabisi nyawa para penunggang motor di jalanan kampung demi merampas motornya untuk penghidupan. Aku tak habis pikir, kemana naluri kemanusiaan mereka yang tega menebas leher manusia demi untuk merampas motor mereka. Padahal - yang aku tahu - motor itu hanya dijual murah saja - hanya untuk membeli ganja dan minuman keras. Kau pun hanya diam ketika aku menanyakan ini. Tersenyum getir sambil mengasah pisau belati yang selalu kau bawa itu.
Setiap hari. Ya, setiap hari setelah kau puas memuntahkan semuanya, pada
akhirnya kau akan bertanya juga yang sama dari pertanyaan-pertanyaan
sebelumnya, tanpa mau menanggapi obrolanku tentang perampas-perampas motor itu.
"Kapan kau akan menikahinya?"
Maka setelah kalimat tanya itu kau
lontarkan, tak ada yang bisa kujawab dengan jujur melainkan sebuah rekah
senyuman dan kata-kata pemuas tanyamu, walau aku tahu di matamu tak pernah puas
akan jawabanku melainkan sebuah surat undangan pernikahan dariku benar-benar
mendarat di tanganmu. Karena aku terlanjur berbusa mengisahkan kisah asmaraku
padamu berhari hari lamanya.
"Dia masih di rantau, nampaknya setahun atau dua tahun lagi,"
Jawabku. Padahal aku tahu, tak punya harapan pasti untuk menanti gadisku
pulang. Kabar terakhir yang aku terima, gadis itu telah memiliki kekasih di
Jakarta. Katanya kekasihnya itu teman satu PT-nya di tempat dia bekerja. Ah!
Malang betul nasibku. Hampir tiga puluh tahun sudah umurku, karena menunggunya
berlama-lama merantau, aku berjudi dengan umurku. Rela lapuk demi untuk bisa
singgah di hati gadis itu selamanya. Tapi kenyataannya, dia meracuni
penantianku. Ya, semenjak aku tahu dari Badri yang mudik di lebaran haji dulu,
dia mengatakan seperti itu. Badri yang mencari penghidupan dengan menjajakan
dvd bajakan di kawasan Pasar Senen itu katanya pernah mendatangi kosannya
sewaktu gadisku merayakan ulang tahunnya. Huzai mengenalkan kepadanya bujang
dari jawa tengah. Katanya itu kekasihnya. Saat Badri berbisik padanya tentang
hubunganku dengannya, gadis itu mengatakan bahwa aku adalah bujang tak berguna.
Tak bisa diandalkan. Suka berjudi dan minum. Menyusahkan orang tua. Dia takut
aku akan menyusahkan hidupnya kelak. Semenjak menangkap kata-kata itulah aku
berusaha berubah. Meninggalkan judi dan minuman keras. Meminta izin pada Bak
dan Umak untuk menjaga kebun kopinya di bukit yang berbaris menantang
ketinggian Gunung Dempo di seberang kecamatan Muara Pinang sana. Meninggalkan
kewajibanku sebagai ketua bujang gadis untuk mengurusi acara perkawinan di
kampungku. Aku ingin menunjukkan pada Huzai, bahwa aku bisa berubah. Kalau
memang itu yang dia inginkan dariku.
Ya. Kau sudah tahu, bahwa aku mengenal Huzai sedari SMP di tahun 1999.
Pertama kali mengenalnya saat wajahnya pucat karena lupa membawa air satu ember
dari rumah atas kewajiban dari kepala sekolah untuk kebersihan kelas karena air
di sekolah kering. Entah kenapa tiba-tiba aku ingin menghapus kekawatirannya
dari hukuman kepala sekolah kami yang bengis. Kuberikan saja emberku padanya.
Mata beningnya yang semula redup tiba-tiba bercahaya. Senyumnya mengembang dan
terlontarlah kata terima kasih dari bibirnya yang tipis. Aku rela dihukum
berdiri di depan semuanya. Yang terpenting aku memiliki kesempatan untuk mengenal
lebih jauh gadis pemilik rambut panjang itu.
Dan akhirnya, di kelas satu SMA, keberanianku berada di singgahsananya.
Aku melayangkan surat cinta padanya. Ia balas suratku dengan kertas harum
bermotif bunga-bunga. Tubuhku seakan melayang ke langit di atas dataran
Sumatera Selatan itu. Sepekan rekah senyumku tak kunjung pudar. Kami dihujani
bunga-bunga cinta selama masa SMA. Sampai akhirnya dia merantau ke Jakarta
menyusul Kakaknya yang sudah puluhan tahun menjadi buruh pabrik. Meninggalkanku
yang uring-uringan tak menentu di kampungku. Dan setelah beberapa tahun tidak
kembali tanpa kabar, Badri membawa berita pilu untukku. Dia sudah memiliki
kekasih di sana.
Ingin rasanya aku membawa parang dari kampung. Ikut Badri ke sana lalu
memotong-motong tubuh bujang dari jawa tengah itu. Seperti ceritamu yang dulu
membunuh selingkuhan kekasihmu di Batam.
Tapi Badri tak mau membawaku. Bak dan Umak pun tidak mengizinkan aku ke
sana. Katanya dirantau itu susah. Lebih enak tinggal di kampung halaman sendiri
walau hidup susah. Alhasil, kupendam sendiri kekesalanku, menyepi di bukit. Dan
beruntunglah ada kau di sini, aku punya teman berbagi. Dan kau juga punya teman
untuk membuang kegundahan dan penyesalanmu. Tapi kau hanya tahu cerita tentang
rindu-rinduku saja, bukan tentang gadisku yang sudah mendua.
"Kubunuh dia di tengah malam saat kudapati dia tengah menggerayangi
kekasihku di kosannya. Kekasihku menjerit, saat bujang itu mati berlumuran
darah. Dan tengah malam itu juga aku berlari sebisaku. Meninggalkan pekerjaanku
di sana sebagai buruh pabrik dan melupakan gadisku selamanya," Itu kata
kau sambil mengacungkan pisau belatimu di hadapanku. Membuat bulu kudukku
berdiri dan mual membayangkan darah yang muncrat dari tusukan belati yang katamu
kerap kau bawa itu. Sampai hari itu kau tidak tahu bagaimana nasib gadismu dan
segigih apa pihak hukum mencari keberadaanmu. Hingga kadang membuatmu terbangun
tiba-tiba dari persembunyianmu di bukit ini tanpa ingin kembali ke kampungmu
lagi. Beruntung kau ditawari orang untuk paruhan kebun. Kau bisa bersembunyi
sembari mencari penghidupan dari setengah hasil kebun kopi yang dibagi dua
dengan pemiliknya.
"Jangan terlalu berharap pada gadis perantau. Kau tak akan pernah
tahu kehidupan dia di sana. Jika ada yang lebih tampan dari kau dan berduit
pula. Tak ada alasan lain untuknya menepikan kau." Ah! Harusnya aku juga
memikirkan kata-katamu ini dulu. Kau benar, dia selingkuh dan membuangku tanpa
kabar. Membuat dunia ku serasa berubah menjadi labirin yang gelap dan aku
berada di dalamnya tanpa bisa melihat dan pengap.
Setelah kudengar suara tembakan di kebunmu dan setelah kuintip banyak
polisi mengepung dangaumu. Dan kulihat kau mati tertembak karena berusaha
melarikan diri. Beberapa harinya aku mendapat kabar dari mulut-mulut kecubung
orang-orang kampung. Bahwa bulan depan Huzai akan menikah dengan Badri. Aku
dibohongi Badri, bujang satu kampung denganku dan satu SMA denganku. Ternyata
bukan bujang jawa tengah yang merebut gadisku, melainkan Dia. Pantas saja dulu
dia menyuruhku melupakannya.
"Aku tak akan melupakannya, aku akan berubah. Bilang padanya, aku
akan mengubah semua sifat jelekku yang dia tidak suka. Bilang padanya."
Itu pesanku pada Badri untuk disampaikan padanya di sana, dulu. Aku masih
ingat, saat aku mengatakannya tanganku mengepal kuat. Geram.
Dan kau tahu apa yang aku lakukan? Aku belajar darimu wahai bujang yang
dulu pernah kudengar katamu kau itu titisan si pahit lidah. Aku menjual dua
karung kopi, lalu pergi ke Jakarta membawa sebilah belati. Kucari Badri di
sana. Meminta pertolongan salah satu teman SMAku yang lain yang mengetahui
tempat Badri di sana. Ya, pada tengah malam juga. Kudapati Badri tengah tidur
berdua dengan Huzai di kosannya. Kau tahu apa yang aku lakukan. Kutusuk-tusuk
dadanya hingga memuncratkan darah. Huzai menjerit-jerit di sisinya dan aku
berlari. Berlari entah hendak kemana. Tak mungkin akan pulang ke kampung
halamanku, tak mungkin juga berdiam di Jakarta. Rupanya aku juga bisa sebejad
para perampas motor itu. Dan aku yakin, tak ada manusia yang tega melakukan hal
sebejad ini melainkan karena sebuah sebab dan sebuah alasan.
Aku pergi ke Batam. Tempat yang dulu kau singgahi untuk mencari
penghidupan. Aku menyambangi tempat kerja kekasihmu dan tempat menetapnya yang
kutahu dari catatan alamat yang pernah kau tinggalkan di dangauku. Aku diterima
bekerja di tempat kekasihmu dulu bekerja. Dan aku mendekatinya. Bertanya
sesuatu padanya setelah berhasil mengakrabinya.
"Apa yang menyebabkan seorang perempuan itu bisa
berselingkuh?"
Dia diam. Dia tidak menjawab tanyaku, sepertinya kenangan tentang kau
begitu berat di pikulnya. Saat aku ceritakan tentang kau yang telah mati
ditembak polisi, dia menangis tersedu-sedu. Lalu memelukku dengan erat.
Sesenggukan dia mengatakan bahwa dia masih sangat sayang denganmu. Dia hanya
ingin mencari lelaki baik untuk menemaninya sampai ke hari akhirnya. Katanya
kau tak pernah mau menjadi lelaki baik untuknya. Katanya kau suka berjudi, kau
suka mabuk dan kau suka kasar terhadapnya. Itulah yang membuatnya berselingkuh.
Kawan, Akhirnya aku memikirkan kata-katanya. Aku ingin menjadi bujang
yang baik. Aku menyesali semuanya. Di hadapan mantan kekasihmu itu, kutunjukkan
diriku sebaik mungkin. Karena dia tahu aku ini sahabatmu, dia menyuruhku untuk
tinggal bersamanya, sampai aku mendapatkan pekerjaan. Hingga perlahan aku
mencintainya dan dia membuka hati untukku. Kami menjadi sepasang kekasih. Kau
mungkin akan marah padaku. Atau mungkin akan menusukku dengan pisau belatimu,
jika kau masih hidup dan tahu tentang kekonyolan ini. Tapi harus aku akui ini
semua karena dia mampu melenyapkan dendam cintaku pada Huzai.
Akhirnya, dia mengajakku pulang ke kampung halamannya di Surabaya. Dia
ingin aku menikahinya di sana dan melanjutkan hidup bersamanya di sana.
Entah sampai kapan, kawan. Aku tak tahu. Mungkin sampai polisi datang
menyergapku dan aku berlari hingga tertembak sepertimu. Entahlah. Trauma
pembunuhan itu diam-diam selalu mengantui hari-hariku. Saat ini harapanku, aku
hanya ingin menjadi bujangan yang baik. Ya, bujangan baik. Bukankah Tuhan
selalu membuka kesempatan kedua untuk menjadi manusia baik? Izinkan aku untuk
menjaga kekasihmu, Kawan. Selamanya. (*)
Kuching, 10 April 2014
Hidup Ini Indah Kesehatan Komunitas Penulis Indonesia Grup Mesra Pustaka Online
0 komentar:
Posting Komentar