Sahabat,
merekalah warna serupa pelangi, yang hadirnya tidak selalu sehabis hujan.
Kadang datang di tengah terik, di saat embun menutupi bukit, di saat angin
gunung turun ke bawah hingga gigil menerpa, bahkan di tengah hujan deras pun
warna-warninya hadir secara tiba-tiba. Begitulah adanya mereka ; Darul, Syahrul
dan Farid. Tiga makhluk ajaib yang pernah dihadirkan Tuhan untukku. Merekalah
pelangi itu. Aku menamai mereka berupa warna : Hijau, Merah dan Biru. Dan aku
warna Kuningnya.
Darul. Mengenalnya semasa kecil. Makhluk satu ini begitu peduli akan kerapihan
dan kebersihan. Dia tidak begitu pintar. Akan tetapi, kegigihan dan
kedisiplinannya, mampu membuktikan pada dunia, dialah salah satu anak yang
beruntung di antara mereka-mereka yang hidup pas-pasan untuk mengenyam sarjana
dan akhirnya bekerja di sebuah perusahaan ternama.
Aku ingat masa itu. Di saat aku dan dia kebingungan akan biaya untuk
melanjutkan sekolah ke SMA. Kami murung. Melihat teman-teman yang lain sibuk
untuk mempersiapkan sekolah ke SMA Negeri. Tak ada harapan. Seakan Tuhan tengah
membentangkan takdir buruk untuk kami berdua. Tapi Tuhan mendengar doa-doa
kami. Datanglah makhluk ajaib yang menawarkan kami untuk sekolah gratis di
Jakarta. Dengan haru, membawa pakaian seadanya, kami berangkat ke sana.
Tiga tahun bersama mengeyam pendidikan SMA di Jakarta. Walau aku tahu,
di tahun pertama, Darul pernah mengeluh akan asinnya rasa garam bersekolah di
asrma. Makan berebut, porsi sedikit. Kegiatan belajar padat. Peraturan ketat.
Tapi kami tak pernah lelah. Kami harus lulus. Harus mensyukuri nikmat Tuhan
yang begitu adil terhadap kami. Bisa sekolah gratis.
Di sana kami bertemu satu makhluk lagi ; Syahrul. Lelaki cerdas,
berobsesi tinggi, selalu memiliki cita-cita untuk menjadi orang terdepan dan
dikelilingi banyak fans. Dia berjuang keras untuk meraih apa yang dia inginkan.
Di SMA dia telah membuktikan kepiawaiannya berbahasa Inggris. Tak pernah lelah
untuk memperjuangkan juara pertama dalam lomba-lomba pidato bahasa inggris di
mana-mana. Selalu mendapat juara di kelas. Setelah dia mengangkat aku - yang
katanya sebagai manager sekaligus sekretaris pribadinya sewaktu sekolah dulu -
aku baru tahu, dia punya cita-cita luhur, bahkan paling luhur diantara aku dan
Darul. Dia ingin membahagiakan Enyak-nya. Hanya itu yang dia inginkan. Enyaknya
bisa bahagia dan naik haji dari jerih payahnya. Pergaulannya luas. Tak jarang
dia mengenalkan aku dengan sahabat-sahabatnya dari belahan dunia. Bule-bule.
Dari Australia, Amerika, Inggris dan Eropa. Itulah rahasia utamanya untuk
menguasai bahasa inggris dengan cepat. Praktek langsung. Walau aku tahu, dia
menemukan sahabat-sahabat bulenya itu dengan mengejar-ngejar mereka di Kebun
Raya Bogor, Kota Tua, Mall-Mall, kereta, dan tempat lainnya, hanya untuk
menguji kecakapannya berbahasa inggris yang pada akhirnya berujung dengan
meminta email lalu chatting dengan mereka sepuasnya.
Ya, lelaki tinggi, agak kurus dan ingin dikatakan hitam manis ini,
dialah yang pertama dan terakhir yang mengatakan aku ini punya ilmu kanuragan
yang bisa menerawang. Padahal tidak sama sekali. Walau berkali-kali aku
menjelaskan aku bukan penganut ilmu-lmu kebatinan itu, dia tetap saja minta
diterawang akan cewek-cewek yang dia sukai. Cocok tidak? Dia suka sama aku apa
tidak? Terharu tidak dia pas saya beri cokelat tadi? Ya, demi memuaskan
kepercayaannya, aku jawab saja seasalnya. Anehnya dia begitu percaya.
Dan akhirnya, aku mengenal Farid dari Syahrul setelah aku dan dia lulus
SMA. Farid. Seorang dokter yang wajahnya pernah aku lihat di cover majalah
Annida karena berhasil menjadi finalis remaja berprestasi majalah Annida.
Dokter ber IQ tinggi, disiplin, ramah, dan segala aktivitasnya harus mengikuti
jadwal rutin hariannya yang begitu padat. Di dekatnya harus mengikuti segala
macam aturan yang sudah dipatenkannya. Cuci tangan sebelum makan. Gosok gigi
sebelum tidur. Bahkan di saat aku, Syahrul dan Darul bertandang kerumahnya.
Apabila dia tengah sibuk karena kebetulan ada rutinitas wajib yang sesuai
jadwal rutinitasnya. Dia menawarkan sesuatu agar kedatangan kami tidak
mengacaukan aktivitasnya dan tidak pulang karena kesibukannya. Menawarkan
siaran-siaran TV Kabelnya, koleksi bacaannya yang sudah layak disebut
perpustakaan besar, menonton koleksi Dvd-nya, atau memainkan
permainan-permainan dari manca negara yang dia punya.
Tetapi, dialah seorang dokter yang rela menemaniku pulang kampung untuk
mengantarkan aku bertemu seseorang yang aku sayangi kala itu. Kebiasaannya yang
high class. Rela menaiki bus dari
kalideres ke Sumatera Selatan. Menikmati panorama alam Gunung Dempo dan
jalan-jalan ke perkebunan kopi yang menurutnya pengolahan kopi yang dijemur di
atas tanah itu adalah jorok. Walau dia tak pernah setuju akan orang-orang yang
aku cintai. Dia banyak mengajarkan segala hal tentang apa itu hidup hemat,
teratur, disiplin dan sehat.
Ya, ternyata persahabatan yang kita agung-agungkan dan kita bersamai
dengan suka cita itu tak selamanya bisa menghadirkan kebersamaan. Pada akhirnya
kita selayaknya manusia, bukan merah, biru atau hijau yang selalu bersama
memberi warna menyerupa pelangi. Merah punya hidupnya sendiri, ia harus terbang
ke Singapura untuk melanjutkan karirnya sebagai dokter yang diakui dunia
profesinya. Hijau pun punya hidup sendiri, ia sibuk untuk bekerja di sebuah
perusahaan yang kerap memintanya untuk bekerja lebih dari jam kerja seharusnya.
Sementara biru, ia pun semakin sibuk akan cita-citanya untuk membahagiakan
Enyaknya agar hidup bahagia dan bisa naik haji. Dan aku, seperti dulu, kerap
menyepi, menghilang dari peredaraan untuk mencipta larik-larik puisi dan
sepenggal cerita yang berharap mampu menginspirasi dunia suatu saat nanti.
Meninggalkan tanah air. Hanya ingin bisa seperti mereka yang begitu luar biasa.
Kebersamaan memang tak pernah abadi. Tapi adanya mereka ; Darul,
Syahrul, dan Farid, mengajarkanku satu hal. Bahwa cita-cita harus
diperjuangkan. Sesusah apa pun itu. Dan kini, aku masih memperjuangkannya di
tengah ketiga sahabatku yang telah menikmati perjuangan dan pengorbanan yang
mereka lakukan selama ini. Aku yakin aku bisa.
Ketika kebersamaan itu telah
menyerupa debu
Lalu berterbangan menuju
bintang-bintang timur, barat, utara dan selatan
Cahaya kita tak akan pernah
berkedip, kawan
Tak akan padam jika siang
membentang
Tak akan pula hilang tertelan
zaman
Karena semuanya terukir dalam
pelepah
Tentang cerita kita
Tentang suka cita
Tentang marah dan benci yang
pernah mengaburi persahabatan kita
Tentang diam tanpa kata
karena jarak memisahkan kita
Tentang perbedaan yang kerap
membuat kita bertentangan
Saling baku hantam, dendam,
mendiamkan
Juga tentang rahasia-rahasia
yang hanya kita berempat yang tahu
Yang menjadi tanda tanya kita
selama ini
Bahwa hidup tak selamanya
harus dipungkiri
Jalani saja
Apa adanya
Panggul dengan senyuman
Dengan kebersamaan
Dan pada akhirnya kita
menjadi mengerti
Bahwa kita punya hidup
masing-masing
Yang harus kita jalani
Kita nikmati
dan kita pikul sampai suatu
saat, Tuhan memberikan kita waktu untuk bertemu kembali, walau satu menit saja
Hingga kita saling bertukar
cerita
Tentang pengalaman kita
masing-masing
Kita saling belajar
Untuk menguatkan kita agar
siap ketika suatu saat nanti menghadap-Nya
Dan berharap kita bisa
kembali bersama
Di sana
Dan rindu ini pada akhirnya
juga menyerupa bunga
Semoga di mana pun kalian
berada
Mampu mencium aromanya
Dan menyadarkan satu hal
Bahwa aku selalu ada
Masih seperti sedia kala
Sebagai sahabat kalian yang
tak akan melupa
Selamanya
Hidup Ini Indah Kesehatan Komunitas Penulis Indonesia Grup Mesra Pustaka Online
0 komentar:
Posting Komentar