Sabtu, 08 November 2014

Empat Warna Pelangi













 Sahabat, merekalah warna serupa pelangi, yang hadirnya tidak selalu sehabis hujan. Kadang datang di tengah terik, di saat embun menutupi bukit, di saat angin gunung turun ke bawah hingga gigil menerpa, bahkan di tengah hujan deras pun warna-warninya hadir secara tiba-tiba. Begitulah adanya mereka ; Darul, Syahrul dan Farid. Tiga makhluk ajaib yang pernah dihadirkan Tuhan untukku. Merekalah pelangi itu. Aku menamai mereka berupa warna : Hijau, Merah dan Biru. Dan aku warna Kuningnya.
          Darul. Mengenalnya semasa kecil. Makhluk satu ini begitu peduli akan kerapihan dan kebersihan. Dia tidak begitu pintar. Akan tetapi, kegigihan dan kedisiplinannya, mampu membuktikan pada dunia, dialah salah satu anak yang beruntung di antara mereka-mereka yang hidup pas-pasan untuk mengenyam sarjana dan akhirnya bekerja di sebuah perusahaan ternama.
          Aku ingat masa itu. Di saat aku dan dia kebingungan akan biaya untuk melanjutkan sekolah ke SMA. Kami murung. Melihat teman-teman yang lain sibuk untuk mempersiapkan sekolah ke SMA Negeri. Tak ada harapan. Seakan Tuhan tengah membentangkan takdir buruk untuk kami berdua. Tapi Tuhan mendengar doa-doa kami. Datanglah makhluk ajaib yang menawarkan kami untuk sekolah gratis di Jakarta. Dengan haru, membawa pakaian seadanya, kami berangkat ke sana.
          Tiga tahun bersama mengeyam pendidikan SMA di Jakarta. Walau aku tahu, di tahun pertama, Darul pernah mengeluh akan asinnya rasa garam bersekolah di asrma. Makan berebut, porsi sedikit. Kegiatan belajar padat. Peraturan ketat. Tapi kami tak pernah lelah. Kami harus lulus. Harus mensyukuri nikmat Tuhan yang begitu adil terhadap kami. Bisa sekolah gratis.
          Di sana kami bertemu satu makhluk lagi ; Syahrul. Lelaki cerdas, berobsesi tinggi, selalu memiliki cita-cita untuk menjadi orang terdepan dan dikelilingi banyak fans. Dia berjuang keras untuk meraih apa yang dia inginkan. Di SMA dia telah membuktikan kepiawaiannya berbahasa Inggris. Tak pernah lelah untuk memperjuangkan juara pertama dalam lomba-lomba pidato bahasa inggris di mana-mana. Selalu mendapat juara di kelas. Setelah dia mengangkat aku - yang katanya sebagai manager sekaligus sekretaris pribadinya sewaktu sekolah dulu - aku baru tahu, dia punya cita-cita luhur, bahkan paling luhur diantara aku dan Darul. Dia ingin membahagiakan Enyak-nya. Hanya itu yang dia inginkan. Enyaknya bisa bahagia dan naik haji dari jerih payahnya. Pergaulannya luas. Tak jarang dia mengenalkan aku dengan sahabat-sahabatnya dari belahan dunia. Bule-bule. Dari Australia, Amerika, Inggris dan Eropa. Itulah rahasia utamanya untuk menguasai bahasa inggris dengan cepat. Praktek langsung. Walau aku tahu, dia menemukan sahabat-sahabat bulenya itu dengan mengejar-ngejar mereka di Kebun Raya Bogor, Kota Tua, Mall-Mall, kereta, dan tempat lainnya, hanya untuk menguji kecakapannya berbahasa inggris yang pada akhirnya berujung dengan meminta email lalu chatting dengan mereka sepuasnya.
           Ya, lelaki tinggi, agak kurus dan ingin dikatakan hitam manis ini, dialah yang pertama dan terakhir yang mengatakan aku ini punya ilmu kanuragan yang bisa menerawang. Padahal tidak sama sekali. Walau berkali-kali aku menjelaskan aku bukan penganut ilmu-lmu kebatinan itu, dia tetap saja minta diterawang akan cewek-cewek yang dia sukai. Cocok tidak? Dia suka sama aku apa tidak? Terharu tidak dia pas saya beri cokelat tadi? Ya, demi memuaskan kepercayaannya, aku jawab saja seasalnya. Anehnya dia begitu percaya.
           Dan akhirnya, aku mengenal Farid dari Syahrul setelah aku dan dia lulus SMA. Farid. Seorang dokter yang wajahnya pernah aku lihat di cover majalah Annida karena berhasil menjadi finalis remaja berprestasi majalah Annida. Dokter ber IQ tinggi, disiplin, ramah, dan segala aktivitasnya harus mengikuti jadwal rutin hariannya yang begitu padat. Di dekatnya harus mengikuti segala macam aturan yang sudah dipatenkannya. Cuci tangan sebelum makan. Gosok gigi sebelum tidur. Bahkan di saat aku, Syahrul dan Darul bertandang kerumahnya. Apabila dia tengah sibuk karena kebetulan ada rutinitas wajib yang sesuai jadwal rutinitasnya. Dia menawarkan sesuatu agar kedatangan kami tidak mengacaukan aktivitasnya dan tidak pulang karena kesibukannya. Menawarkan siaran-siaran TV Kabelnya, koleksi bacaannya yang sudah layak disebut perpustakaan besar, menonton koleksi Dvd-nya, atau memainkan permainan-permainan dari manca negara yang dia punya.
          Tetapi, dialah seorang dokter yang rela menemaniku pulang kampung untuk mengantarkan aku bertemu seseorang yang aku sayangi kala itu. Kebiasaannya yang high class. Rela menaiki bus dari kalideres ke Sumatera Selatan. Menikmati panorama alam Gunung Dempo dan jalan-jalan ke perkebunan kopi yang menurutnya pengolahan kopi yang dijemur di atas tanah itu adalah jorok. Walau dia tak pernah setuju akan orang-orang yang aku cintai. Dia banyak mengajarkan segala hal tentang apa itu hidup hemat, teratur, disiplin dan sehat.
          Ya, ternyata persahabatan yang kita agung-agungkan dan kita bersamai dengan suka cita itu tak selamanya bisa menghadirkan kebersamaan. Pada akhirnya kita selayaknya manusia, bukan merah, biru atau hijau yang selalu bersama memberi warna menyerupa pelangi. Merah punya hidupnya sendiri, ia harus terbang ke Singapura untuk melanjutkan karirnya sebagai dokter yang diakui dunia profesinya. Hijau pun punya hidup sendiri, ia sibuk untuk bekerja di sebuah perusahaan yang kerap memintanya untuk bekerja lebih dari jam kerja seharusnya. Sementara biru, ia pun semakin sibuk akan cita-citanya untuk membahagiakan Enyaknya agar hidup bahagia dan bisa naik haji. Dan aku, seperti dulu, kerap menyepi, menghilang dari peredaraan untuk mencipta larik-larik puisi dan sepenggal cerita yang berharap mampu menginspirasi dunia suatu saat nanti. Meninggalkan tanah air. Hanya ingin bisa seperti mereka yang begitu luar biasa.
          Kebersamaan memang tak pernah abadi. Tapi adanya mereka ; Darul, Syahrul, dan Farid, mengajarkanku satu hal. Bahwa cita-cita harus diperjuangkan. Sesusah apa pun itu. Dan kini, aku masih memperjuangkannya di tengah ketiga sahabatku yang telah menikmati perjuangan dan pengorbanan yang mereka lakukan selama ini. Aku yakin aku bisa. 

Ketika kebersamaan itu telah menyerupa debu
Lalu berterbangan menuju bintang-bintang timur, barat, utara dan selatan
Cahaya kita tak akan pernah berkedip, kawan
Tak akan padam jika siang membentang
Tak akan pula hilang tertelan zaman
Karena semuanya terukir dalam pelepah
Tentang cerita kita
Tentang suka cita
Tentang marah dan benci yang pernah mengaburi persahabatan kita
Tentang diam tanpa kata karena jarak memisahkan kita
Tentang perbedaan yang kerap membuat kita bertentangan
Saling baku hantam, dendam, mendiamkan
Juga tentang rahasia-rahasia yang hanya kita berempat yang tahu
Yang menjadi tanda tanya kita selama ini
Bahwa hidup tak selamanya harus dipungkiri
Jalani saja
Apa adanya
Panggul dengan senyuman
Dengan kebersamaan
Dan pada akhirnya kita menjadi mengerti
Bahwa kita punya hidup masing-masing
Yang harus kita jalani
Kita nikmati
dan kita pikul sampai suatu saat, Tuhan memberikan kita waktu untuk bertemu kembali, walau satu menit saja
Hingga kita saling bertukar cerita
Tentang pengalaman kita masing-masing
Kita saling belajar
Untuk menguatkan kita agar siap ketika suatu saat nanti menghadap-Nya
Dan berharap kita bisa kembali bersama
Di sana

Dan rindu ini pada akhirnya juga menyerupa bunga
Semoga di mana pun kalian berada
Mampu mencium aromanya
Dan menyadarkan satu hal
Bahwa aku selalu ada
Masih seperti sedia kala
Sebagai sahabat kalian yang tak akan melupa
Selamanya

Hidup Ini Indah Kesehatan Komunitas Penulis Indonesia Grup Mesra Pustaka Online

0 komentar: