Senin, 21 April 2014
Cerpen Manusia Sebelah
Radar Banten 25 Agustus 2013
Cerpen Hengki Kumayandi
"Kembalilah ke sana. Kau akan menemukan sebelah tubuhmu yang hilang."
Itu kata Datuk Maruak saat aku kembali ke tanah negeriku, Sarawak Malaysia. Saat aku pulang hanya membawa tubuh sebelah. Ya, sepulang dari Indonesia, setelah melewati masa bulan madu dengan istriku di tanah Banten, Pantai Lesung yang elok, dengan hamparan pasir putih dan gelombang ombak yang berkejar-kejaran itu, kemudian aku kehilangan sebelah tubuh. Aku menyadarinya setelah terbangun dari tidur di kamar hotel. Saat itu aku panik, terhenyak dengan melihat tubuh yang hanya sebelah. Kakiku tinggal satu. Tanganku tinggal satu. Mata dan juga telingaku tinggal satu. Bukan hanya sebelah tubuhku yang hilang kala itu. Pun istriku, pergi entah kemana. Saat terbangun tak ada lagi jejaknya di sampingku. Kucari-cari ia mengitari hotel dan pantai dengan kaki satu. Istriku tetap tak ditemukan. Terpaksa aku pulang ke negaraku, Malaysia dengan hanya membawa bagian sebelah kanan tubuh tanpa membawa kembali istriku.
"Aku tidak mau lagi ke sana, Datuk." Lirihku saat itu. Pias.
"Kau mau tetap dibicarakan banyak orang, dengan tubuhmu sebelah seperti ini? Kau mau seumur hidupmu berdiri dengan tubuh yang hanya tinggal sebelah?" Suara Datuk agak meninggi.
"Cukup setengah tubuhku saja yang hilang. Aku tidak mau setengah tubuhku yang tersisa ini turut lenyap." Kilahku.
Datuk terdiam, sambil menghadap hamparan hutan di depannya, tepat di sudut kota Khucing, tak lama ia menyentuh bahuku. "Kau ke sana malah akan menemukan lagi sebelah tubuhmu." Lirih Datuk berusaha merajuk.
"Tidak, aku tidak mau." Ucapku serupa lengkingan lengkap dengan air mata yang tiba-tiba menetes. Sebenarnya, masa bodoh dengan tubuhku yang hanya tinggal sebelah. Bukan itu yang kusedihkan. Yang membuatku hatiku patah adalah istriku. Mengapa ia harus hilang di sana -tempat yang kami datangi karena tergiur dengan saran sahabatku Imam yang katanya tempat itu begitu cocok untuk bulan madu kami.
Ya, aku mengakui tempat itu adalah surga. Pasir putihnya yang halus serta hembusan angin sepoi-sepoi. Hamparan pasir yang landai dan luas. Posisi pantai yang tidak menghadap langsung ke laut lepas menjadikan ombak di pantai itu tidak terlalu besar. Hingga aku bisa berlari-lari bersama istriku menembus ombak.
"Datuk bisa menemanimu jika kau tidak berani sendirian."
"Kenapa Datuk memaksaku ke sana, aku ikhlas menjadi manusia sebelah. Aku tak butuh sebelah tubuhku selama aku masih bisa hidup. Tak selamanya menjadi orang aneh itu akan mendapat gunjingan."
Datuk menarik napasnya. "Datuk sedih melihat kau murung terus. Menyepi di kamar. Seperti tak punya gairah hidup."
"Lalu, mengapa Datuk begitu yakin, kalau aku pergi ke sana lagi, aku akan menemukan sebelah tubuhku. ”
Sepertinya Datuk lelah berdebat denganku. Lelaki tua beruban ini bergeming, kulihat matanya mengarah pada bangau-bangau putih yang beterbangan di atas sana.
"Hidup tanpa beban seperti bangau yang terbang bebas itu adalah indah. Sesungguhnya yang mencuri sebelah tubuhmu bukanlah siapapun, tapi beban dipikiranmu yang kau biarkan merasakannya tanpa mau bangkit lagi. Adakalanya duka tak harus kau kungkung dalam hati. Lepaskan, jangan kau ratapi ..." Datuk mendesah. "Sekali lagi, Datuk minta, pulanglah sebentar ke sana."
"Aku tidak mau,” bergetar aku mengucap ini. “Bawa aku kembali pulang ke rumah. Aku tak mau kemana-mana lagi selain mendekam di kamarku, Tuk." Pintaku memelas.
Datuk bergegas membukakan pintu mobil untukku.
"Masuklah!" Pinta Datuk.
Segera aku melompat-lompat dengan kaki satu memasuki bagian depan mobil. Datuk bukannya membawaku pulang ke rumah. Ia malah menyetir mobilnya ke pusat kota Khucing.
****
Namaku Azli, aku hidup dengan hanya sebelah tubuh bagian kiri. Sebelah tubuhku bagian kanan telah pulang ke negara asalku. Ya, aku sengaja memisahkan diri. Aku tak ingin meninggalkan tempat ini. Tempat yang menjadi kenangan terakhir bersama istriku. Istriku yang meninggalkanku dengan sebuah surat terakhir.
Abang. Maafkan Noor. Aku harus meninggalkanmu di sini. Tak sanggup aku menceritakan semua ini. Tapi Abang harus tahu. Sebenarnya, selama Abang kuliah di Inggris. Aku bertemu dengan Abang Imam, sahabat Abang. Aku khilaf telah melakukan dosa dengan Abang Imam. Hingga di saat kita menikah, aku telah mengandung anak Abang Imam selama dua bulan.
Aku terpaksa pergi mencari Abang Imam. Anak yang kukandung ini anaknya, bukan anakmu. Aku tak mau menimbun dosa lebih banyak lagi. Jaga dirimu baik-baik, Bang. Maafkan aku. Lupakan aku. Jangan pula cari aku ...
Begitulah isi surat terakhir dari Noor. Membuat jiwaku sakit. Hingga aku tak ingin lagi pergi dari pantai Tanjung Lesung ini. Berharap Noor berubah pikiran. Kembali ke sini. Tak mengapa dia tengah mengandung. Aku akan tetap mencintainya.
Pikiran bodoh memang ....
***
Datuk memarkirkan mobilnya di pinggir sungai Waterfront. Sungai yang membelah kota Kuching. Sungai yang di kiri kanannya ditancapi taman kota, gedung-gedung tinggi, juga Astana.
"Aku ingin pulang, bukan ke sini." Protesku pada Datuk.
"Turunlah sebentar. Datuk ingin menunjukkan sesuatu." Pinta Datuk.
Aku keluar dari mobil. Datuk membawaku duduk di bangku taman yang menghadap sungai yang mengalir tenang.
"Lihat ke sana!" Pinta Datuk.
Aku mengalihkan mata ke arah yang ditunjuk Datuk. Aku tak percaya melihat seorang wanita paruh baya keturunan China berjalan dengan tubuh sebelah. Rupanya bukan aku saja.
"Lihat juga ke sana." Telunjuknya kini mengarah ke sebelah kanan.
Aku berdiri memandangi sang polisi bertubuh sebelah, yang tengah mengatur lalu lintas.
Tiga, empat, lima, enam dan bahkan dua puluh telah kutemukan manusia sebelah di tengah kota ini.
"Mereka sama seperti kau. Bedanya, walau tubuh tinggal sebelah. Mereka masih tetap melanjutkan hidup." Ucap Datuk. "Sementara kau, jangankan untuk melanjutkan hidup, untuk menjemput kembali sebelah tubuhmu saja kau enggan."
Aku terdiam.
"Maafkan masa lalumu. Lanjutkan hidupmu." Urai Datuk sekali lagi.
****
Hari ini, di tengah senja yang memandikan pantai ini. Aku melihat bagian tubuh sebelah kananku datang kembali ke tempat ini. Ia berdiri di sisi pantai sambil menghadap laut. Kulihat air matanya menetes. Melompat-lompat aku mendekatinya. Kuhantam tubuhnya.
"Kenapa kau ke sini?" Teriakku.
"Kau? Aku mencarimu, mengajakmu pulang ke Negeri kita,"
"Aku tak akan pulang. Aku akan tetap di sini menunggu Noor kembali. Aku yakin dia akan ke sini."
"Noor sudah mati. Sampai kapan pun kau menunggunya, dia tak akan kembali."
"Apa?" Aku terkaget sangat.
"Iya. Setelah kepulanganku ke Malaysia, sepupunya Noor menelponku. Dia memberitahu kabar tentang kematian Noor. Saat keluarganya mengetahui Noor hamil di luar nikah, mereka mengusirnya. Imam tak mau bertanggung jawab. Hingga akhirnya Noor bunuh diri."
"Tidak, itu semua tidak benar!"
"Ayo kita pulang. Hidup kita harus berlanjut. Harus."
"Aku tidak mau!" Tegas aku bertutur.
"Kau ingin tetap seperti ini? Meratapi kesedihan dan melupakan semua hidup yang seharusnya kau lanjutkan?"
"Ini semua salahmu!” Aku bergumam pasrah tanpa memandangnya, geletar membaur di sekitar bibirku. Ada nada lusuh yang terpatut. “Yang selalu sibuk di luar negeri tanpa menjaga hubungan dengan calon istrimu. Hingga kau biarkan sahabatmu si Imam merebut hatinya."
"Bukan aku yang salah, tetapi kau. Kau membiarkan dirimu sendiri semakin terpuruk. Tak mau bangkit. Kau lemah."
Satu tinjuku hantarkan ke pipi kanannya. Dia meninju pipi kiriku. Lalu kami bergulat di atas pasir seperti sumo yang tengah bertanding. Aku melemah. Dia juga terpuruk. Mata kiriku berkunang-kunang. Samar kulihat mata kanannya seakan kehabisan baterai.
Gelap.
****
Samar kedua mataku melihat cahaya bulan purnama di atas sana. Bintang-bintang berkerlip menyapa. Ada rasi Gemini yang tercipta. Rasi yang menggambarkan tentangku -yang pernah bermetamorfosa menjadi sesuatu yang lain. Dua jiwa yang pernah saling melepas, namun akhirnya terpaut kembali dalam satu ruas : kepercayaan. Fenomena pareidolia seketika menyambutku. Bentukan-bentukan awan gelap seperti menjelma wajah Noor di pelupukku. Ia tersenyum, lepas, melihat ragaku yang kembali menyatu. Kugerakkan tubuh secara paksa. Aku berhasil duduk di atas pasir. Tubuhku telah menyatu. Tanganku sudah ada dua, begitupun kakiku. Kuraba wajahku, telah menyatu. Tak lagi sebelah. Aku harus pulang. Secepatnya. Agar tubuhku tak lagi memisah.
Hidup Ini Indah Kesehatan Komunitas Penulis Indonesia Grup Mesra Pustaka Online
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar